Thursday, 15 December 2016

STUDI KASUS MENGENAI MEROKOK DAN PENDUDUK DEWASA MUDA DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Karena asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kima, 200 di antaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain.
Di negara berkembang, angka perokok pada perempuan masih cukup rendah. Disbanding pada laki-laki, sedangkan orang yang ada disekelilingnya umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Dengan demikian perokok pasif merupakan masalah perempuan dan anak, karena dampak negative dari asap rokok (Environmental Tobacco Smoke / ETS) terhadap kesehatan mereka.[1] Indonesia menempati urutan kelima negara pengonsumsi rokok terbanyak dan urutan ketiga negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Kelompok usia <15 tahun terjadi peningkatan jumlah perokok, peningkatan tertinggi pada kelompok usia 10-14 tahun. Salah satu faktor utama yang memengaruhi perilaku merokok pada remaja adalah tingkat pengetahuan.[2]

B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana pola gender merokok ?
b.      Berapa usia mulai merokok di kalangan penduduk muda ?
c.       Bagaimana dampak merokok bagi masyarakat dan individu ?
d.      Bagaimana strategi yang digunakan untuk mengendalikan produk tembakau?







BAB II
PEMBAHASAN

Menurut laporan WHO terakhir mengenai konsumsi tembakau dunia, angka prevalensi merokok di Indonesia merupakan salah satu di antara yang tertinggi di dunia, dengan 46,8 persen laki-laki dan 3,1 persen perempuan usia 10 tahun ke atas yang diklasifikasikan sebagai perokok (WHO, 2011). Jumlah perokok mencapai 62,8 juta, 40 persen di antaranya berasal dari kalangan ekonomi bawah.
Meskipun faktanya kebiasaan merokok menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan menyebabkan lebih dari 200.000 (Barber dkk., 2008) kematian per tahunnya, Indonesia merupakan satusatunya negara di wilayah Asia Pasifik yang belum menandatangani Kerangka Konvensi WHO tentang Pengendalian Tembakau.[3]
Sejak awal 2000 kebijakan mengenai merokok di Indonesia telah mulai difokuskan pada aspek kesehatan. Pada 2003 (Peraturan Pemerintah No. 19) Pemerintah Indonesia telah menerapkan peraturan yang mengharuskan mencantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan pada setiap kemasan rokok. Kalimat tepatnya adalah: ‘merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin’. Sebesar 10 persen halaman muka kemasan rokok harus disediakan untuk tulisan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan.[4]
Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 88/2010 melarang merokok di kantor dan tempat umum. Peraturan tersebut diikuti oleh peraturan di kota-kota lainnya
yang melarang merokok di tempat-tempat umum dan membatasi iklan rokok. Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan No.181/PMK.001/2009 telah manaikkan cukai rokok. Kenaikan cukai rokok ini disambut baik oleh kelompok-
kelompok advokasi yang mendukung upaya pencegahan kebiasaan merokok mengingat dampak yang dapat ditimbulkannya pada kesehatan. Saat ini DPR sedang menyusun draf Rancangan Undang Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan (RUU-PDPTTK) 2011 tentang dampak negatif tembakau.
Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia telah melakukan beberapa survei mengenai kebiasaan merokok. Salah satu survey pada 2011 menemukan angka prevalensi merokok di kalangan penduduk usia 20 tahun ke atas di Jakarta dan Sukabumi mencapai 68 persen di kalangan laki-laki dan 8 persen perempuan (Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2001). Sebuah survei tentang pengaruh tulisan peringatan kesehatan di kemasan rokok terhadap kebiasaan merokok menemukan bahwa 90 persen responden membaca peringatan tersebut tetapi hanya 42,5 persen responden tidak percaya bahwa masalah kesehatan akan berdampak pada diri mereka. Lebih dari seperempat perokok menyatakan bahwa mereka sudah mulai berfikir untuk berhenti merokok dan 25,8 persen sama sekali tidak peduli (Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2007).
A.    Pola Gender Merokok
Sebagaimana ditunjukkan oleh Figur 1, ada perbedaan tajam angka prevalensi merokok di Indonesia dimana kebiasaan itu jarang dilakukan oleh perempuan. Survei Transisi Penduduk Dewasa Muda di Jakarta dan Sekitarnya 2010 (20-34 tahun ke atas, N=3006) menunjukkan bahwa jenis kelamin dan pendidikan merupakan faktor penting terhadap kebiasaan merokok. Laki-laki lebih besar kemungkinannya untuk merokok dan mereka yang berpendidikan tinggi lebih kecil kemungkinan untuk merokok (Tabel 1 dan Tabel 2). Bagi mereka yang merokok setiap hari, jumlah rokok yang dihisap antara 1-60 batang dengan ratarata 10,9 batang. Bagi mereka yang sesekali merokok, konsumsinya antara 1-24 batang dengan rata-rata 3,3 batang per hari.[5]


Penelitian kualitatif menekankan bahwa merokok diterima sebagai bagian perilaku normal bagi laki-laki, bahkan dianggap sebagai simbol kejantanan (Ng dkk., 2007). Bahwa merokok dapat meningkatkan kenjantanan laki-laki juga banyak dipromosikan lewat iklan-iklan rokok (Nichter dkk., 2009). Sementara lakilaki merokok dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, dari sisi budaya merokok di kalangan perempuan dianggap sebagai perilaku menyimpang[7]. Barraclough (1999) memberi catatan bahwa sebenarnya pandangan budaya terhadap perempuan merokok yang dianggap diskriminatif dan sebagai sebuah stigma merupakan sesuatu yang pada akhirnya memberi dampak positif terhadap kesehatan perempuan, karena pandangan budaya tersebut telah membuat angka prevalensi merokok di kalangan perempuan menjadi rendah.
Meskipun secara nasional tidak cukup tersedia data longitudinal untuk mengetahui secara pasti apakah angka prevalensi merokok di kalangan perempuan meningkat, namun beberpa bukti menunjukkan bahwa kebiasaan merokok terus meningkatkan di kalangan remaja putri (Aditama dkk., 2006). Ada pendapat bahwa sikap yang menganggap perempuan merokok tidak sesuai dengan budaya, sekarang melunak terutama pada masyarakat yang terpengaruh budaya kota (Barraclough, 1999). Analisis baru-baru ini tentang iklan rokok di Indonesia juga menekankan bahwa sejak 2002 sejumlah iklan merek rokok menggambarkan perempuan muda penuh gaya dan memberi pesan yang mempromosikan bahwa merokok untuk perempuan modern sekarang sudah bisa diterima. Konsisten dengan hal ini, Tabel 2 menunjukkan bahwa perempuan yang berpendidikan lebih tinggi lebih mungkin menjadi perokok disbanding mereka dengan pendidikan yang lebih rendah.
Meskipun angka prevalensi merokok di kalangan perempuan saat ini relatif rendah, perempuan dan anak-anak masih mempunyai resiko kesehatan sebagai perokok pasif yang disebabkan adanya laki-laki merokok di rumah atau di tempat-tempat tertutup lainnya (Barraclough, 1999). Menurut survei Perokok Muda Dunia 2006 (Global Youth Tobacco Survey), 6 dari 10 siswa usia 13-15 mempunyai satu atau lebih orangtua perokok, dan 65 persen tinggal di rumah dimana ada orang lain yang merokok (WHO, 2009). Di tingkat nasional, analisis Survei Sosial Ekonomi Nasional 2001 memperkirakan bahwa hampir 50 persen dari total penduduk terkena dampak perokok pasif yang disebabkan oleh anggota keluarga yang merokok di dalam rumah (Kementerian Kesehatan, 2004).
B.     Usia Mulai Merokok di Kalangan Penduduk Muda
Usia memulai kebiasaan merokok di Indonesia relative tergolong muda. Survei Global Youth Tobacco 2006 menemukan bahwa di antara siswa usia 13-15 tahun, 24 persen laki-laki dan 4 persen perempuan mempunyai kebiasaan merokok. Di antara mereka yang pernah mencoba merokok, sekitar 1 dari 3 lakilaki dan 1 dari 4 perempuan mencoba merokok untuk pertama kalinya sebelum berusia 10 tahun (WHO, 2009). Menurut survei tersebut, akses dan ketersediaan rokok mudah diperoleh, 6 dari 10 perokok muda usia 13- 15 tahun menunjukkan bahwa mereka membeli rokok di toko. Sepanjang waktu kecenderungan usia mulai kebiasaan merokok terus 4 turun ke usia yang lebih muda lagi. Usia rata-rata mulai merokok di kalangan perokok usia 15 tahun ke atas, turun dari 18.8 pada 1995 menjadi 18.3 pada 2001 (Kementerian Kesehatan, 2004).
Penduduk muda yang mulai merokok dapat menjadi kebiasaan seumur hidup tanpa pemahaman tentang akibat kebiasaan itu pada kesehatannya. Ketika bahaya merokok diajarkan di sekolah, masih ada salah pengertian mengenai bahaya merokok secara luas. Sebagai contoh, pada sebuah penelitian tentang anakanak laki-laki Jawa usia 13-17 tahun, Ng, Weinehall, dan Öhman (2007) menemukan bahwa selain anakanak itu dapat mengerti peringatan yang tertera pada kemasan rokok, mereka juga menyatakan bahwa merokok satu hingga dua bungkus per hari tidak akan membahayakan. Mereka tidak mengerti tentang resikonya atau bahaya jangka panjangnya.
C.    Akibat Merokok bagi Masyarakat dan Individu
Merokok telah jauh berakibat negatif terhadap kesehatan dan ekonomi masyarakat dan individu. Sudah sangat dipahami bahwa rokok adalah penyebab utama kematian, membunuh setengah masa hidup perokok (WHO, 2011). Biaya pemeliharaan kesehatan untuk penyakit-penyakit yang disebabkan rokok diperkirakan mencapai Rp.11 trilyun atau atau US$1,2 juta per tahun (Barber dkk., 2008). Pada tingkat individu, merokok juga memerlukan biaya ekomomi tinggi. Menurut data dari SUSENAS 2005, pada rumah tangga dengan perokok, 11.5 persen dari total pengeluaran bulanan rumah tangga digunakan untuk rokok (Barber, et al., 2008). Pada keluarga kurang mampu, persentase pengeluaran rumah tangga untuk rokok bahkan lebih besar lagi.[8]

D.    Strategi untuk Mengendalikan Produk Tembakau
“Pengendalian produk tembakau di Indonesia mungkin tidak akan mengalami kemajuan sampai pemerintah mengevaluasi dan memperkuat peraturan yang sudah ada, mempertimbangkan untuk mengeluarkan perturan baru yang ketat, dan mengembangkan  sistem peraturan untuk penegakan hukum semua peraturan. Pemerintah Indonesia sebaiknya juga mempertimbangkan pencapaian Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO” (Aditama dkk., 2006: 2). Serangkaian kebijakan tersedia bagi pemerintah yang berniat mengendalikan penggunaan produk tembakau, termasuk kebijakan yang mempengaruhi sisi permintaan dan persediaannya. Berikut ini adalah beberapa kebijakan yang tersedia, banyak di antaranya telah diidentifikasi oleh Kementerian Kesehatan (2004). [9]
a.      Menaikkan Harga dan Cukai
Menaikkan harga rokok melalui kenaikan cukai yang lebih tinggi merupakan salah satu cara efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok secara keseluruhan (Barber dkk., 2008). “Cukai rokok menjadi sumber tetap pemerintah untuk mendorong penurunan pengeluaran untuk rokok, menyumbang 5,7 persen total penerimaan pajak Indonesia pada 2007. Mengingat harga dan cukai tembakau yang masih rendah, ada potensi besar untuk peningkatan pendapatan pajak yang lebih besar lagi” (Barber dkk., 2008: 13). Lebih jauh lagi, karena elastisitas harga permintaan di kalangan remaja jauh lebih besar daripada di kalangan penduduk dewasa, berarti remaja lebih besar kemungkinannya untuk mengurangi atau berhenti merokok sebagai akibat kenaikan harga tersebut.
b.      Kepedulian Masyarakat, Pendidikan, dan Program Berhenti Merokok
Program peningkatan kepedulian masyarakat penting artinya karena memungkinkan perokok dapat membuat pilihan-pilihan berdasarkan informasi mengenai total biaya merokok. Walaupun hubungan antara merokok dan kanker paru-paru dan penyakitpenyakit lainnya sudah jelas, banyak perokok masih belum peduli akan bahaya merokok terhadap dirinya dan orang-orang di sekitarnya yang terkena asap rokok (Barber, 2008). Beberapa contoh program peningkatan kepedulian masyarakat, pendidikan, dan program berhenti merokok adalah sebagai berikut:
1.      Program pendidikan di sekolah,
2.      Program pendidikan masyarakat dan iklan serangan balik. Program pendidikan masyarakat dan program pendidikan di tempat-tempat promosi penjualan rokok,
3.      Ketersediaan program berhenti merokok untuk mendukung perokok yang ingin berhenti merokok.
c.       Pengemasan dan Pelabelan
Sekarang ini pada kemasan rokok hanya tertera tulisan peringatan bahaya merokok. Namun banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan efektifitas peringatan bahaya merokok pada kemasan rokok, termasuk:
1.      Peraturan pemerintah mengenai ukuran dan jenis peringatan bahaya merokok,
2.      Larangan mencantumkan kata-kata ‘mild’ dan ‘low’ pada produk tembakau,
3.      Peringatan bahaya merokok yang lebih kera (termasuk mencantumkan foto-foto penyakit paru-paru, bibir, dan bagian tubuh lainnya).

d.      Larangan Menyeluruh terhadap Iklan, Promosi, dan Sponsor
1.      Melarang kupon gratis dan diskon produk tembakau,
2.      Larangan menyeluruh sponsor produk tembakau pada acara-acara remaja,
3.      Larangan menyeluruh media cetak dan elektronik menyiarkan iklan produk tembakau,
4.      Larangan iklan produk tembakau di luar ruangan,
5.      Larangan promosi produk tembakau pada anakanak dan remaja,
6.      Tuntutan kriminal bagi penjualan produk tembakau kepada anak-anak dan remaja usia di bawah 17 tahun. Selain hal-hal tersebut, langkah-langkah lain yang telah diidentifkasi oleh Kementerian Kesehatan mencakup:
a.       Melarang penjualan rokok eceran/batangan,
b.      Memperketat larangan merokok di tempat umum,
c.       Memperket pengawasan penyelundupan rokok.













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut laporan WHO terakhir mengenai konsumsi tembakau dunia, angka prevalensi merokok di Indonesia merupakan salah satu di antara yang tertinggi di dunia, dengan 46,8 persen laki-laki dan 3,1 persen perempuan usia 10 tahun ke atas yang diklasifikasikan sebagai perokok (WHO, 2011). Jumlah perokok mencapai 62,8 juta, 40 persen di antaranya berasal dari kalangan ekonomi bawah. Meskipun faktanya kebiasaan merokok menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan menyebabkan lebih dari 200.000 (Barber dkk., 2008) kematian per tahunnya, Indonesia merupakan satusatunya negara di wilayah Asia Pasifik yang belum menandatangani Kerangka Konvensi WHO tentang Pengendalian Tembakau.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Figur 1, ada perbedaan tajam angka prevalensi merokok di Indonesia dimana kebiasaan itu jarang dilakukan oleh perempuan. Survei Transisi Penduduk Dewasa Muda di Jakarta dan Sekitarnya 2010 (20-34 tahun ke atas, N=3006) menunjukkan bahwa jenis kelamin dan pendidikan merupakan faktor penting terhadap kebiasaan merokok. Laki-laki lebih besar kemungkinannya untuk merokok dan mereka yang berpendidikan tinggi lebih kecil kemungkinan untuk merokok (Tabel 1 dan Tabel 2). Bagi mereka yang merokok setiap hari, jumlah rokok yang dihisap antara 1-60 batang dengan ratarata 10,9 batang. Bagi mereka yang sesekali merokok, konsumsinya antara 1-24 batang dengan rata-rata 3,3 batang per hari. Dari survey tersebut dapat diketahui berapa usia mulai merokok dan dampak yang terjadi akibat merokok sehingga perlu strategi untuk mengurangi produk hasil tembakau diantaranya yaitu, menaikkan harga dan cukai, kepedulian masyarakat, pendidikan dan upaya berhenti merokok dan larangan menyeluruh terhadap iklan dan sejenisnya.





DAFTAR PUSTAKA
Julianty Pradono, Perokok Pasif Bencana Yang Terlupakan, ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/2070/1182
Anna Reimondos dkk, Merokok dan Penduduk Dewasa Muda di Indonesia,


[1] Julianty Pradono, Perokok Pasif Bencana Yang Terlupakan, ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/2070/1182
[3] http://www.who.int/fctc/signatories_parties/en/index.html
[5] Ibid. hlm. 2
[6] Ibid, hlm 2
[7] Barraclough, S., 1999. Women and tobacco in Indonesia. Tobacco Control. Vol 8:327-332.
[8] Ibid. hlm. 4
[9] Ibid. hlm. 5

0 comments:

Post a Comment