BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Rokok
bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Karena asap rokok
terdiri dari 4.000 bahan kima, 200 di antaranya merupakan racun antara lain
Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain.
Di
negara berkembang, angka perokok pada perempuan masih cukup rendah. Disbanding
pada laki-laki, sedangkan orang yang ada disekelilingnya umumnya adalah
perempuan dan anak-anak. Dengan demikian perokok pasif merupakan masalah
perempuan dan anak, karena dampak negative dari asap rokok (Environmental
Tobacco Smoke / ETS) terhadap kesehatan mereka.[1]
Indonesia menempati urutan kelima negara pengonsumsi rokok terbanyak dan urutan
ketiga negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Kelompok usia <15
tahun terjadi peningkatan jumlah perokok, peningkatan tertinggi pada kelompok
usia 10-14 tahun. Salah satu faktor utama yang memengaruhi perilaku merokok
pada remaja adalah tingkat pengetahuan.[2]
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana pola gender merokok ?
b.
Berapa usia mulai merokok di kalangan penduduk muda ?
c.
Bagaimana dampak merokok bagi masyarakat dan individu ?
d.
Bagaimana strategi yang digunakan untuk mengendalikan produk
tembakau?
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut
laporan WHO terakhir mengenai konsumsi tembakau dunia, angka prevalensi merokok
di Indonesia merupakan salah satu di antara yang tertinggi di dunia, dengan
46,8 persen laki-laki dan 3,1 persen perempuan usia 10 tahun ke atas yang diklasifikasikan
sebagai perokok (WHO, 2011). Jumlah perokok mencapai 62,8 juta, 40 persen di
antaranya berasal dari kalangan ekonomi bawah.
Meskipun
faktanya kebiasaan merokok menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan menyebabkan
lebih dari 200.000 (Barber dkk., 2008) kematian per tahunnya, Indonesia
merupakan satusatunya negara di wilayah Asia Pasifik yang belum menandatangani
Kerangka Konvensi WHO tentang Pengendalian Tembakau.[3]
Sejak
awal 2000 kebijakan mengenai merokok di Indonesia telah mulai difokuskan pada
aspek kesehatan. Pada 2003 (Peraturan Pemerintah No. 19) Pemerintah Indonesia
telah menerapkan peraturan yang mengharuskan mencantumkan peringatan bahaya
merokok bagi kesehatan pada setiap kemasan rokok. Kalimat tepatnya adalah: ‘merokok
dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan
gangguan kehamilan dan janin’. Sebesar 10 persen halaman muka kemasan rokok
harus disediakan untuk tulisan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan.[4]
Peraturan
Gubernur DKI Jakarta No. 88/2010 melarang merokok di kantor dan tempat umum.
Peraturan tersebut diikuti oleh peraturan di kota-kota lainnya
yang melarang merokok di tempat-tempat umum dan membatasi iklan rokok. Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan No.181/PMK.001/2009 telah manaikkan cukai rokok. Kenaikan cukai rokok ini disambut baik oleh kelompok-
kelompok advokasi yang mendukung upaya pencegahan kebiasaan merokok mengingat dampak yang dapat ditimbulkannya pada kesehatan. Saat ini DPR sedang menyusun draf Rancangan Undang Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan (RUU-PDPTTK) 2011 tentang dampak negatif tembakau.
yang melarang merokok di tempat-tempat umum dan membatasi iklan rokok. Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan No.181/PMK.001/2009 telah manaikkan cukai rokok. Kenaikan cukai rokok ini disambut baik oleh kelompok-
kelompok advokasi yang mendukung upaya pencegahan kebiasaan merokok mengingat dampak yang dapat ditimbulkannya pada kesehatan. Saat ini DPR sedang menyusun draf Rancangan Undang Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan (RUU-PDPTTK) 2011 tentang dampak negatif tembakau.
Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia telah melakukan beberapa survei
mengenai kebiasaan merokok. Salah satu survey pada 2011 menemukan angka
prevalensi merokok di kalangan penduduk usia 20 tahun ke atas di Jakarta dan
Sukabumi mencapai 68 persen di kalangan laki-laki dan 8 persen perempuan (Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2001). Sebuah survei tentang
pengaruh tulisan peringatan kesehatan di kemasan rokok terhadap kebiasaan merokok
menemukan bahwa 90 persen responden membaca peringatan tersebut tetapi hanya
42,5 persen responden tidak percaya bahwa masalah kesehatan akan berdampak pada
diri mereka. Lebih dari seperempat perokok menyatakan bahwa mereka sudah mulai berfikir
untuk berhenti merokok dan 25,8 persen sama sekali tidak peduli (Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia, 2007).
A.
Pola Gender Merokok
Sebagaimana
ditunjukkan oleh Figur 1, ada perbedaan tajam angka prevalensi merokok di
Indonesia dimana kebiasaan itu jarang dilakukan oleh perempuan. Survei Transisi
Penduduk Dewasa Muda di Jakarta dan Sekitarnya 2010 (20-34 tahun ke atas,
N=3006) menunjukkan bahwa jenis kelamin dan pendidikan merupakan faktor penting
terhadap kebiasaan merokok. Laki-laki lebih besar kemungkinannya untuk merokok
dan mereka yang berpendidikan tinggi lebih kecil kemungkinan untuk merokok (Tabel
1 dan Tabel 2). Bagi mereka yang merokok setiap hari, jumlah rokok yang dihisap
antara 1-60 batang dengan ratarata 10,9 batang. Bagi mereka yang sesekali
merokok, konsumsinya antara 1-24 batang dengan rata-rata 3,3 batang per hari.[5]
Penelitian
kualitatif menekankan bahwa merokok diterima sebagai bagian perilaku normal
bagi laki-laki, bahkan dianggap sebagai simbol kejantanan (Ng dkk., 2007). Bahwa
merokok dapat meningkatkan kenjantanan laki-laki juga banyak dipromosikan lewat
iklan-iklan rokok (Nichter dkk., 2009). Sementara lakilaki merokok dapat diterima
oleh masyarakat Indonesia, dari sisi budaya merokok di kalangan perempuan dianggap
sebagai perilaku menyimpang[7].
Barraclough (1999) memberi catatan bahwa sebenarnya pandangan budaya terhadap
perempuan merokok yang dianggap diskriminatif dan sebagai sebuah stigma
merupakan sesuatu yang pada akhirnya memberi dampak positif terhadap kesehatan
perempuan, karena pandangan budaya tersebut telah membuat angka prevalensi
merokok di kalangan perempuan menjadi rendah.
Meskipun
secara nasional tidak cukup tersedia data longitudinal untuk mengetahui secara
pasti apakah angka prevalensi merokok di kalangan perempuan meningkat, namun
beberpa bukti menunjukkan bahwa kebiasaan merokok terus meningkatkan di kalangan
remaja putri (Aditama dkk., 2006). Ada pendapat bahwa sikap yang menganggap
perempuan merokok tidak sesuai dengan budaya, sekarang melunak terutama pada
masyarakat yang terpengaruh budaya kota (Barraclough, 1999). Analisis baru-baru
ini tentang iklan rokok di Indonesia juga menekankan bahwa sejak 2002 sejumlah
iklan merek rokok menggambarkan perempuan muda penuh gaya dan memberi pesan
yang mempromosikan bahwa merokok untuk perempuan modern sekarang sudah bisa
diterima. Konsisten dengan hal ini, Tabel 2 menunjukkan bahwa perempuan yang
berpendidikan lebih tinggi lebih mungkin menjadi perokok disbanding mereka
dengan pendidikan yang lebih rendah.
Meskipun
angka prevalensi merokok di kalangan perempuan saat ini relatif rendah,
perempuan dan anak-anak masih mempunyai resiko kesehatan sebagai perokok pasif
yang disebabkan adanya laki-laki merokok di rumah atau di tempat-tempat
tertutup lainnya (Barraclough, 1999). Menurut survei Perokok Muda Dunia 2006 (Global
Youth Tobacco Survey), 6 dari 10 siswa usia 13-15 mempunyai satu atau lebih
orangtua perokok, dan 65 persen tinggal di rumah dimana ada orang lain yang
merokok (WHO, 2009). Di tingkat nasional, analisis Survei Sosial Ekonomi Nasional
2001 memperkirakan bahwa hampir 50 persen dari total penduduk terkena dampak
perokok pasif yang disebabkan oleh anggota keluarga yang merokok di dalam rumah
(Kementerian Kesehatan, 2004).
B.
Usia Mulai Merokok di Kalangan Penduduk Muda
Usia
memulai kebiasaan merokok di Indonesia relative tergolong muda. Survei Global
Youth Tobacco 2006 menemukan bahwa di antara siswa usia 13-15 tahun, 24
persen laki-laki dan 4 persen perempuan mempunyai kebiasaan merokok. Di antara
mereka yang pernah mencoba merokok, sekitar 1 dari 3 lakilaki dan 1 dari 4
perempuan mencoba merokok untuk pertama kalinya sebelum berusia 10 tahun (WHO, 2009).
Menurut survei tersebut, akses dan ketersediaan rokok mudah diperoleh, 6 dari
10 perokok muda usia 13- 15 tahun menunjukkan bahwa mereka membeli rokok di
toko. Sepanjang waktu kecenderungan usia mulai kebiasaan merokok terus 4 turun
ke usia yang lebih muda lagi. Usia rata-rata mulai merokok di kalangan perokok
usia 15 tahun ke atas, turun dari 18.8 pada 1995 menjadi 18.3 pada 2001
(Kementerian Kesehatan, 2004).
Penduduk
muda yang mulai merokok dapat menjadi kebiasaan seumur hidup tanpa pemahaman
tentang akibat kebiasaan itu pada kesehatannya. Ketika bahaya merokok diajarkan
di sekolah, masih ada salah pengertian mengenai bahaya merokok secara luas.
Sebagai contoh, pada sebuah penelitian tentang anakanak laki-laki Jawa usia 13-17
tahun, Ng, Weinehall, dan Öhman (2007) menemukan bahwa selain anakanak itu
dapat mengerti peringatan yang tertera pada kemasan rokok, mereka juga
menyatakan bahwa merokok satu hingga dua bungkus per hari tidak akan membahayakan.
Mereka tidak mengerti tentang resikonya atau bahaya jangka panjangnya.
C.
Akibat Merokok bagi Masyarakat dan Individu
Merokok
telah jauh berakibat negatif terhadap kesehatan dan ekonomi masyarakat dan
individu. Sudah sangat dipahami bahwa rokok adalah penyebab utama kematian, membunuh
setengah masa hidup perokok (WHO, 2011). Biaya pemeliharaan kesehatan untuk
penyakit-penyakit yang disebabkan rokok diperkirakan mencapai Rp.11 trilyun
atau atau US$1,2 juta per tahun (Barber dkk., 2008). Pada tingkat individu,
merokok juga memerlukan biaya ekomomi tinggi. Menurut data dari SUSENAS 2005,
pada rumah tangga dengan perokok, 11.5 persen dari total pengeluaran bulanan
rumah tangga digunakan untuk rokok (Barber, et al., 2008). Pada keluarga kurang
mampu, persentase pengeluaran rumah tangga untuk rokok bahkan lebih besar lagi.[8]
D.
Strategi untuk Mengendalikan Produk Tembakau
“Pengendalian
produk tembakau di Indonesia mungkin tidak akan mengalami kemajuan sampai
pemerintah mengevaluasi dan memperkuat peraturan yang sudah ada, mempertimbangkan
untuk mengeluarkan perturan baru yang ketat, dan mengembangkan sistem peraturan untuk penegakan hukum semua
peraturan. Pemerintah Indonesia sebaiknya juga mempertimbangkan pencapaian
Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO” (Aditama dkk., 2006: 2). Serangkaian
kebijakan tersedia bagi pemerintah yang berniat mengendalikan penggunaan produk
tembakau, termasuk kebijakan yang mempengaruhi sisi permintaan dan persediaannya.
Berikut ini adalah beberapa kebijakan yang tersedia, banyak di antaranya telah
diidentifikasi oleh Kementerian Kesehatan (2004). [9]
a.
Menaikkan Harga dan Cukai
Menaikkan harga rokok melalui kenaikan cukai yang lebih
tinggi merupakan salah satu cara efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok
secara keseluruhan (Barber dkk., 2008). “Cukai rokok menjadi sumber tetap pemerintah
untuk mendorong penurunan pengeluaran untuk rokok, menyumbang 5,7 persen total penerimaan
pajak Indonesia pada 2007. Mengingat harga dan cukai tembakau yang masih rendah,
ada potensi besar untuk peningkatan pendapatan pajak yang lebih besar lagi”
(Barber dkk., 2008: 13). Lebih jauh lagi, karena elastisitas harga permintaan
di kalangan remaja jauh lebih besar daripada di kalangan penduduk dewasa,
berarti remaja lebih besar kemungkinannya untuk mengurangi atau berhenti
merokok sebagai akibat kenaikan harga tersebut.
b.
Kepedulian Masyarakat, Pendidikan, dan Program Berhenti Merokok
Program peningkatan kepedulian masyarakat penting artinya
karena memungkinkan perokok dapat membuat pilihan-pilihan berdasarkan informasi
mengenai total biaya merokok. Walaupun hubungan antara merokok dan kanker
paru-paru dan penyakitpenyakit lainnya sudah jelas, banyak perokok masih belum
peduli akan bahaya merokok terhadap dirinya dan orang-orang di sekitarnya yang
terkena asap rokok (Barber, 2008). Beberapa contoh program peningkatan kepedulian
masyarakat, pendidikan, dan program berhenti merokok adalah sebagai berikut:
1.
Program pendidikan di sekolah,
2.
Program pendidikan masyarakat dan iklan serangan balik.
Program pendidikan masyarakat dan program pendidikan di tempat-tempat promosi
penjualan rokok,
3.
Ketersediaan program berhenti merokok untuk mendukung
perokok yang ingin berhenti merokok.
c.
Pengemasan dan Pelabelan
Sekarang
ini pada kemasan rokok hanya tertera tulisan peringatan bahaya merokok. Namun
banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan efektifitas peringatan bahaya
merokok pada kemasan rokok, termasuk:
1.
Peraturan pemerintah mengenai ukuran dan jenis
peringatan bahaya merokok,
2.
Larangan mencantumkan kata-kata ‘mild’ dan ‘low’
pada produk tembakau,
3.
Peringatan bahaya merokok yang lebih kera (termasuk
mencantumkan foto-foto penyakit paru-paru, bibir, dan bagian tubuh lainnya).
d.
Larangan Menyeluruh terhadap Iklan, Promosi, dan Sponsor
1.
Melarang kupon gratis dan diskon produk tembakau,
2.
Larangan menyeluruh sponsor produk tembakau pada
acara-acara remaja,
3.
Larangan menyeluruh media cetak dan elektronik menyiarkan
iklan produk tembakau,
4.
Larangan iklan produk tembakau di luar ruangan,
5.
Larangan promosi produk tembakau pada anakanak dan
remaja,
6.
Tuntutan kriminal bagi penjualan produk tembakau kepada
anak-anak dan remaja usia di bawah 17 tahun. Selain hal-hal tersebut,
langkah-langkah lain yang telah diidentifkasi oleh Kementerian Kesehatan
mencakup:
a.
Melarang penjualan rokok eceran/batangan,
b.
Memperketat larangan merokok di tempat umum,
c.
Memperket pengawasan penyelundupan rokok.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut laporan WHO
terakhir mengenai konsumsi tembakau dunia, angka prevalensi merokok di
Indonesia merupakan salah satu di antara yang tertinggi di dunia, dengan 46,8
persen laki-laki dan 3,1 persen perempuan usia 10 tahun ke atas yang
diklasifikasikan sebagai perokok (WHO, 2011). Jumlah perokok mencapai 62,8 juta,
40 persen di antaranya berasal dari kalangan ekonomi bawah. Meskipun faktanya
kebiasaan merokok menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan menyebabkan
lebih dari 200.000 (Barber dkk., 2008) kematian per tahunnya, Indonesia
merupakan satusatunya negara di wilayah Asia Pasifik yang belum menandatangani
Kerangka Konvensi WHO tentang Pengendalian Tembakau.
Sebagaimana ditunjukkan
oleh Figur 1, ada perbedaan tajam angka prevalensi merokok di Indonesia dimana kebiasaan
itu jarang dilakukan oleh perempuan. Survei Transisi Penduduk Dewasa Muda di
Jakarta dan Sekitarnya 2010 (20-34 tahun ke atas, N=3006) menunjukkan bahwa
jenis kelamin dan pendidikan merupakan faktor penting terhadap kebiasaan merokok.
Laki-laki lebih besar kemungkinannya untuk merokok dan mereka yang
berpendidikan tinggi lebih kecil kemungkinan untuk merokok (Tabel 1 dan Tabel 2).
Bagi mereka yang merokok setiap hari, jumlah rokok yang dihisap antara 1-60 batang
dengan ratarata 10,9 batang. Bagi mereka yang sesekali merokok, konsumsinya antara
1-24 batang dengan rata-rata 3,3 batang per hari. Dari survey tersebut dapat
diketahui berapa usia mulai merokok dan dampak yang terjadi akibat merokok
sehingga perlu strategi untuk mengurangi produk hasil tembakau diantaranya
yaitu, menaikkan harga dan cukai, kepedulian masyarakat, pendidikan dan upaya
berhenti merokok dan larangan menyeluruh terhadap iklan dan sejenisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Julianty
Pradono, Perokok Pasif Bencana Yang Terlupakan, ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/2070/1182
Anna Reimondos
dkk, Merokok dan Penduduk Dewasa Muda di Indonesia,
[1] Julianty Pradono, Perokok Pasif Bencana Yang Terlupakan, ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/2070/1182
[4] Anna Reimondos dkk, Merokok dan Penduduk Dewasa Muda di
Indonesia, http://demography.anu.edu.au/sites/default/files/research/transition-to-adulthood/Policy_Background_%232_Smoking-Bhs_Indonesia.pdf
[5] Ibid. hlm. 2
[6] Ibid, hlm 2
[8] Ibid. hlm. 4
[9] Ibid. hlm. 5
0 comments:
Post a Comment