Malam semakin larut, ayah belum
pulang dari tempat ia bekerja. Aku terduduk di ruang tamu diatas kursi rotan,
diselimuti rasa gelisah tak sabar menunggu. Pandangan kosong berangsur -
angsur menjadi berarti ketika mata dan
hatiku menangkap atap dan langit langit rumah.
Kembali aku ingat,
kegembiraan masa lalu semakin membuat tekadku melanjutkan perguruan
tinggi. Tinggal menunggu keputusan ayah.
Minggu ini aku harus mengumpulkan formulir pendaftaran mahasiswa baru melalui
jalur undangan, tetapi saat ini belum mendapat izin dari ayah.
Tiba tiba lamunanku
buyar ketika pintu diketuk. Aku bergegas membuka pintu.
“Ayah!!” Aku
tersenyum begitu melihat ayah. Aku mengulurkan tangan menyalam.
“Hana, sudah malam
belum tidur nak?” tanyanya.
“Menunggu ayah
pulang”
Aku diam, mataku
terus mengawasi ayah. Penampilan ayah sedikit acak acakan.
“Katakanlah apa
yang ingin kau katakan.” Suara ayah memecahkan keheningan seakan dapat membaca
pikiranku.
Aku menarik napas
dalam dalam kemudian duduk dihadapan ayah.
“Aku ingin
melanjutkan ke perguruan tinggi” Mataku terus mengawasi ingin melihat reaksi
ayah.
“Sekolah disitu
mahal, kau tida perlu melanjutkan! Buang buang saja, ayah tidak sanggup
membiayai kamu. Lihat keadaan kita, makan sehari hari pun sulit. Kau tahu
bukan?”
“Aku suadah
terlanjur mendaftar”. Ayah pergi tanpa merespon pembicaraanku.
“Ayah!” Suaraku
meninggi.
Dan ayah
menghentikan langkahnya.
“Ayah, tolonglah.
Aku ingin melanjutkan”.
“Sudahlah, mengapa
kalian tidak saling mengerti. Ayah, biarkanlah anak kita melanjutkan ke sekolah
yang lebih tinggi”.
Ibu yang sedari
tadi sudah tidur, keluar dari kamarnya. Percakapanku dengan ayah pasti telah
mengganggu tidurnya.
“Kalau Hana tidak
sekolah, suatu saat ia akan tenggelam secara perlahan – lahan”.
“Tidak usah!”
Bentak ayah kasar membuatku terdiam.
Setelah itu
percakapan tidak terdengar lagi. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing.
“Ayah, aku ingin
sekolah lebih tinggi karena aku yakin dengan kemampuanku dan kemampuan ekonomi
keluarga kita.”
Tiba tiba ayah berdiri,
wajahnya merah padam.
“Tidak, ayah tidak
mengijinkan kau sekolah.”
Aku terkejut
meskipun aku sudah menyiapkan diri dengan semua itu, menyadari harapan dan cita
– citaku akan kandas karena sikap ayah yang egois. Aku semakin kesal, emosiku
memuncak. Kini berhadapan dengan ayah yang masih berdiri terus menatap aku
dengan tatapan tajam. Kedua matanya terus melotot. Aku hanya diam, aku membisu
dalam pikiranku. Aku meninggalkan ayah
pergi ke tempat tidur.
Pagi itu, aku
terbangun dengan mata sembab dan bengkak. Semalam aku menangis di kamar dan
akhirnya tertidur. Entah berapa lama aku berderai air mata. Hari itu, hari
berikutnya, dan hari berikutnya lagi aku belum melihat sosok ayah yang
sebenarnya memelas padaku. Aku tak tahu kemana beliau pergi.
“Ayahmu ketakutan
jika memang tidak bisa membiayaimu sekolah. Sebenarnya ayah selalu ingin
melihatmu bahagia, dia juga bangga dengan kepintaran yang kau miliki.” Ibu
menghampiriku, beliau tahu bahwa aku sedang mencari ayah.
Sudah hampir satu
bulan ayah belum kembali. Aku tidak tahu kemana ayah pergi. Aku khawatir,
sejujurnya aku sangat menyayanginya.
“ibu, ayah kemana?”
aku bertanya pada ibu tapi dia diam saja. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
Keesokan harinya
...
“kau darimana nak?”
Kata ibu lembut.
Aku terdiam, tidak siap menceritakan yang sebenarnya terjadi.
“kau jadi mengikuti
tes? Tanya ibu.
“iya bu, aku ...”
aku sedikit tergagap.
“selamat nak, kau
diterima di sekolah yang kau inginkan. Ayah tidak tega melihatmu sedih, maka
dari itu ayah mengijinkanmu untuk melanjutkan sekolah.”
Tak kusadari ternyata
sedaritadi ayah berada di belakangku. Aku sangat senang ayah kembali. “Maaf nak, ayah pergi tanpa sepengetahuan
kamu. Ayah pergi bekerja keras untuk membiayai sekolah kamu nak. Sekarang kau
sudah di terima, ayah sangat bangga denganmu.”
Aku memeluk ayah, aku
terharu dan sangat bahagia. “Terimakasih ayah..” kataku terus memeluknya. Ibu
berada di samping ayah, aku berbalik kemudian memeluk ibu seerat-eratnya.
“Terimakasih ibu..” kataku.
Aku kembali bersekolah dengan
kegembiaraanyang tiada taranya. Sekolah baruku sudah di depan mata. Khayalanku
jauh ke suatu tempat yang belum kurasakan, tetapi sudah terlihat jelas di depan
kepala mataku.
0 comments:
Post a Comment