Saturday, 21 September 2013

Aku Mendapatkannya


Malam semakin larut, ayah belum pulang dari tempat ia bekerja. Aku terduduk di ruang tamu diatas kursi rotan, diselimuti rasa gelisah tak sabar menunggu. Pandangan kosong berangsur - angsur  menjadi berarti ketika mata dan hatiku menangkap atap dan langit langit rumah.
        Kembali aku ingat, kegembiraan masa lalu semakin membuat tekadku melanjutkan perguruan tinggi.  Tinggal menunggu keputusan ayah. Minggu ini aku harus mengumpulkan formulir pendaftaran mahasiswa baru melalui jalur undangan, tetapi saat ini belum mendapat izin dari ayah.
        Tiba tiba lamunanku buyar ketika pintu diketuk. Aku bergegas membuka pintu.
        “Ayah!!” Aku tersenyum begitu melihat ayah. Aku mengulurkan tangan menyalam.
        “Hana, sudah malam belum tidur nak?” tanyanya.
        “Menunggu ayah pulang”
        Aku diam, mataku terus mengawasi ayah. Penampilan ayah sedikit acak acakan.
        “Katakanlah apa yang ingin kau katakan.” Suara ayah memecahkan keheningan seakan dapat membaca pikiranku.
        Aku menarik napas dalam dalam kemudian duduk dihadapan ayah.
        “Aku ingin melanjutkan ke perguruan tinggi” Mataku terus mengawasi ingin melihat reaksi ayah.
        “Sekolah disitu mahal, kau tida perlu melanjutkan! Buang buang saja, ayah tidak sanggup membiayai kamu. Lihat keadaan kita, makan sehari hari pun sulit. Kau tahu bukan?”
        “Aku suadah terlanjur mendaftar”. Ayah pergi tanpa merespon pembicaraanku.
        “Ayah!” Suaraku meninggi.
        Dan ayah menghentikan langkahnya.
        “Ayah, tolonglah. Aku ingin melanjutkan”.
        “Sudahlah, mengapa kalian tidak saling mengerti. Ayah, biarkanlah anak kita melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi”.
        Ibu yang sedari tadi sudah tidur, keluar dari kamarnya. Percakapanku dengan ayah pasti telah mengganggu tidurnya.
        “Kalau Hana tidak sekolah, suatu saat ia akan tenggelam secara perlahan – lahan”.
        “Tidak usah!” Bentak ayah kasar membuatku terdiam.
        Setelah itu percakapan tidak terdengar lagi. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing.
        “Ayah, aku ingin sekolah lebih tinggi karena aku yakin dengan kemampuanku dan kemampuan ekonomi keluarga kita.”
        Tiba tiba ayah berdiri, wajahnya merah padam.
        “Tidak, ayah tidak mengijinkan kau sekolah.”
        Aku terkejut meskipun aku sudah menyiapkan diri dengan semua itu, menyadari harapan dan cita – citaku akan kandas karena sikap ayah yang egois. Aku semakin kesal, emosiku memuncak. Kini berhadapan dengan ayah yang masih berdiri terus menatap aku dengan tatapan tajam. Kedua matanya terus melotot. Aku hanya diam, aku membisu dalam pikiranku.  Aku meninggalkan ayah pergi ke tempat tidur.
        Pagi itu, aku terbangun dengan mata sembab dan bengkak. Semalam aku menangis di kamar dan akhirnya tertidur. Entah berapa lama aku berderai air mata. Hari itu, hari berikutnya, dan hari berikutnya lagi aku belum melihat sosok ayah yang sebenarnya memelas padaku. Aku tak tahu kemana beliau pergi.
        “Ayahmu ketakutan jika memang tidak bisa membiayaimu sekolah. Sebenarnya ayah selalu ingin melihatmu bahagia, dia juga bangga dengan kepintaran yang kau miliki.” Ibu menghampiriku, beliau tahu bahwa aku sedang mencari ayah.
        Sudah hampir satu bulan ayah belum kembali. Aku tidak tahu kemana ayah pergi. Aku khawatir, sejujurnya aku sangat menyayanginya.
        “ibu, ayah kemana?” aku bertanya pada ibu tapi dia diam saja.  Entah apa yang sedang dipikirkannya.
        Keesokan harinya ...
        “kau darimana nak?” Kata ibu lembut.
Aku terdiam, tidak siap menceritakan yang sebenarnya terjadi.
        “kau jadi mengikuti tes? Tanya ibu.
        “iya bu, aku ...” aku sedikit tergagap.
        “selamat nak, kau diterima di sekolah yang kau inginkan. Ayah tidak tega melihatmu sedih, maka dari itu ayah mengijinkanmu untuk melanjutkan sekolah.”
 Tak kusadari ternyata sedaritadi ayah berada di belakangku. Aku sangat senang ayah kembali.  “Maaf nak, ayah pergi tanpa sepengetahuan kamu. Ayah pergi bekerja keras untuk membiayai sekolah kamu nak. Sekarang kau sudah di terima, ayah sangat bangga denganmu.”
 Aku memeluk ayah, aku terharu dan sangat bahagia. “Terimakasih ayah..” kataku terus memeluknya. Ibu berada di samping ayah, aku berbalik kemudian memeluk ibu seerat-eratnya. “Terimakasih ibu..” kataku.
        Aku kembali bersekolah dengan kegembiaraanyang tiada taranya. Sekolah baruku sudah di depan mata. Khayalanku jauh ke suatu tempat yang belum kurasakan, tetapi sudah terlihat jelas di depan kepala mataku.

0 comments:

Post a Comment