BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia telah dicanangkan
sejak masa kemerdekaan hingga sekarang. Pembangunan terus dilaksanakan demi
perbaikan dan kemajuan bangsa Indonesia. Pembangunan merupakan proses
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Kesejahteraan
ditandai dengan meningkatnya produksi, pendapatan dan tabungan masyarakat atau
dikenal dengan employment – income – growth yang bersumber dari tabungan
masyarakat yang terus meningkat.
Realitanya, pembangunan yang dilaksanakan
selam ini hasilnya belumlah sesuai dengan harapan kita bersama. Di berbagai
wilayah, masih terlihat adanya kesenjangan, kemiskinan, dan pengangguran. Di
banyak tempat terlihat masih banyak kesenjangan infrastruktur daerah terpencil
dengan kota-kota besar. Di berbagai daerah di tanah air, dapat disaksikan
generasi muda usia produktif yang tidak bekerja. Itulah sebagian potret buram
pemerataan pembangunan di dalam negeri.
Proses menuju ekonomi berdikari merupakan
langkah nyata mengembalikan arah tujuan bangsa Indonesia. Hal ini khususnya
sebagai bentuk upaya mengurangi masyarakat marginal. Oleh sebab itu, pendekatan
pembangunan yang ditekankan adalah pembangunan bottom up. Pendekatan ini
menuntut adanya partisipasi masyarakat agar mereka memiliki keahlian serta
mandiri.
B. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian dari etnometodologi ?
b. Apakah definisi dari pengangguran ?
c. Bagaimanakah analisis pengangguran berdasarkan Islam ?
d. Bagaimanakah cara menanggulangi pengangguran berdasarkan teori
etnomeodologi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etnometodologi
Etnometodologi merupakan
suatu studi empiris tentang bagaimana orang menanggapi pengalaman dunia
sosialnya sehari-hari. Etnometodologi mempelajari realitas sosial atas
interaksi yang berlangsung sehari hari. Garfinkel mengemukakan tiga hal kunci
dasar etnometodologi yaitu: (1) ada perbedaan antara ungkapan yang objektif dan
yang diidentikasikan, (2) refleksitas berbagai tindakan praktis, (3) kemampuan
menganalisis tindakan trsebut dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Bogdan dan Biklen, pengertian etnometodologi tidaklah selalu
mengacu pada suatu model atau metode pengumpulan data pada saat peneliti
melakukan penelitian di lapangan, akan tetapi lbih merupakan arah kemana
problematika penelitian itu tertuju. Dengan
demikian etnometodologi mengacu pada suatu studi mengenai bagaimana seorang
individu dalam suatu komunitas bertindak dan bertingkah laku dan berusaha
memahami kehidupan sehari-hari aktor yang diteliti.
Hal ini sejalan
dengan ide Garfinkel-pencetus etnometodologi- yang mengatakan bahwa: “I use
term ‘ethnomethodology’ to refer to the investigation of the rational
properties of indexical expressions and other practical actions as contingent
on going accomplishmentof organized artful practices of everyday live”. Dengan
demikian etnometodologi mengisyaratkan upaya mendeskripsikan dan memahami
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya cara berpikir, pola interaksi,
perasaan mereka dan cara bicara mereka.
Teori
etnometodologi pernah dilakukan oleh Cicourel
mengenai kebijakan yang berkenan dengan perilaku menyimpang ‘kejahatan
yang dlakukan anak-anak’. Studi ini menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan
anak-anak berhubungan erat dengan latar belakang keluarga pelaku kejahatan
tersebut. Mereka yang melakukan kejahatan biasanya berasal dari broken home.
Anak-anak dari keluarga yang selalu ribut mempunyai kcenderungan yang lebih
besar.
Metode
etnometodologi juga pernah digunakan oleh Atkinson mengenai bunuh diri. Dengan
mengamati kejadian sehari hari yang tercatat di kantor polisi. Catatan-catatan
resmi yang terakumulasi dalam angka-angka statistik resmi.
Kritik terhadap
etnometodologi yang gencar diperdebatkan adalah: bahwa penggunaan catatan-catatan
resmi dari organisasi tertentu memiliki sifat membangun sekaligus
menghancurkan. Langkah itu sebagai langkah yang menghancurkan, karena telah
menentang perlakuan sosiologi tradisional. Kesimpulan yang dihasilkan bersifat
menghancurkan karena statistik resmi bisa jadi sangat bersifat tempelan belaka
dan tidak ada maknanya sama sekali.[1]
B. Definisi Pengangguran
Indonesia merupakan salah satu negara dengan
penduduk terbanyak di dunia. Dengan menggunakkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) mengenai jumlah penduduk Indonesia yang diproyeksikan pada tahun 2015
mencapai 260 juta jiwa, tentu merupakan jumlah yang sangat besar. Sebagai
negara berpenduduk besar, masalah pembangunan ekonomi sering terbenturkan pada
besarnya angka pengangguran pada usia produktif. [2]
Gambar 1.1, ilustrasi pengangguran di berbagai
daerah.
Pengangguran adalah tenaga kerja yang tidak
terserap oleh pasar tenaga kerja.[3]
Menurut Payman J. Simanjuntak, pengangguran merupakan orang yang tidak bekerja
berusia angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali atau berusaha memperoleh
pekerjaan. Pengangguran di Indonesia cukup banyak jumlahnya. Pengangguran ini
selain menimbulkan masalah ekonomi, juga berdapak pada masalah-masalah lainnya,
seperti masalah sosial, keamanan dan politik.
Tantangan terpenting dalam pembangunan adalah
membuka lapangan kerja seluas-luasnya sehingga bisa menampung banyak tenaga
kerja dan memperkecil jumlah pengangguran. Bagi indonesia, definisi
pengangguran sering diidentifikasi dengan mereka yang tidak bekerja di sektor
formal, seperti menjadi pegawai negeri, menjadi pegawai atau karyawan
perusahaan swasta. Orang-orang yang bekerja pada sektor informal sering
dianggap sebagai orang yang tidak bekerja dan disebut “pengangguran”.
Padahal di Indonesia, jumlah orang yang
bekerja pada sektor informal lebih banyak daripada mereka yang bekerja pada
sektor formal. Oleh karena itu, konsep kerja-untung-menabung menjadi tepat pada
kondisi ekonomi di Indonesia.[4]
Mereka yang bekerja apapun bidang pekerjaan dan caranya bekerja, selam ia bisa
mendapatkan hasil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mampu menabung,
berarti ia bekerja dan tidak bisa disebut pengangguran.
Pada masa orde baru di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto, pembangunan ekonomi dilaksanakan secara menyeluruh.
Pembangunan tersebut berhasil menambahkan beragam pekerjaan baru di pasar kerja
Indonesia, yang dengan demikian mampu mengurangi angka pengangguran nasional.
Sektor sektor yang terutama mengalami peningkatan tenaga kerja adalah sektor
industri dan jasa, sementara sektor pertanian malah berkurang.[5]
Terjadinya krisis di Asia pada sekitar tahun 1990-an secara tidak langsung
telah ikut merusak pembangunan ekonomi di Indonesia. Saat itu pengangguranpun
meningkat tajam. Ada 20% pengangguran di Indonesia dan angka tenaga kerja yang
harus bekerja di bawah level kemampuannya juga meningkat.[6]
Sebagian besar tenaga kerja yang kehilangan
pekerjaan di daerah perkotaan pindah ke pedesaan. Mereka bergabung bekerja pada
sektor-sektor informal terutama pada bidang pertanian. Sektor informal inilah,
baik yang ada di kota maupun di desa, sampai sekarang tetap berperan besar
dalam perekonomian Indoensia. BPS memperkirakan sekitar 55 smpai 65 persen
pekerjaan di Indonesia adalah pekerjaan informal. Saat ini sekitar 80 persen
dari pekerjaan informal itu terkonsentrasi di wilayah pedesaan, terutama di
sektor konstruksi dan pertanian.
Pemerintah perlu melakukan stimulasi
penciptaan lapangan kerja baru untuk menyerap angkatan kerja yang terus bertambah.
Pengangguran muda biasanya terbentuk dari mereka yang baru saja lulus kuliah
atau dapat dikatakan usia produktif dibawah 30 tahun. Artinya, Indonesia
merupakan negara dengan jumlah SDM yang sangat melimpah yang mampu berkembang
lebih baik dengan penanganan yang baik dan tepat.
Jumlah pengangguran di Indoensia tidak merata.
Sebagian besar justru wanita. Umumnya para wanita bekerja di sektor informal,
sehingga sering dianggap sebagai “pengangguran”. Sebagian besar wanita
Indonesia juga sudah mengenyam pendidikan yang lebih baik, tetapi masalah
gender sering menjadi persoalan sendiri.
Banyak wanita memilih “tidak bekerja” di
bidang formal karena bidang formal lebih sering menuntut keberadaan pekerjaan
pria. Selain itu bidang formal menuntut wanita harus meninggalkan rumah dan
anak-anak, karena mereka harus pergi ke kantor atau tempat mereka bekerja.
Masalah tersebut pula sering menjadi permasalahan tersendiri.
Wanita memilih pekerjaan-pekerjaan informal
karena mereka bisa tetap bekerja dan mendapatkan penghasilan, sambil tetap bisa
mengurusi rumah dan anak-anaknya. Tabel berikut ini dapat menggambarkan jumlah
pengangguran wanita di Indonesia.
Tabel Pengangguran Wanita di Indonesia
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
Pengangguran
(% dari total tenaga kerja)
|
10,3
|
9,1
|
8,4
|
7,9
|
7,1
|
6,6
|
6,1
|
6,2
|
5,9
|
Pengangguran Pria
(% dari total tenaga kerja pria)
|
8,5
|
8,1
|
7,6
|
7,5
|
6,1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Pengangguran Wanita
(% dari total tenaga kerja wanita)
|
13,4
|
10,8
|
9,7
|
8,5
|
8,7
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Tingkat pengangguran di Indonesia ini perlu
ditekan serendah mungkin bahkan tidak ada, di setiap kota dapat dilaksanakan
program pemberdayaan masyarakat berbasis One Village One Product (OVOP)
sesuai dengan potensi masing-masing wilayahnya.
C. Analisis Pengangguran Berdasarkan Islam
1. Pengertian Pemberdayaan
Secara semantik istilah pemberdayaan diartikan
sebagai suatu upaya sistematis untuk menjadikan berdayanya suatu obyek kajian
menuju pada perubahan sosial. Menurut Amarullah Ahmad (2008: 32) pemberdayaan
masyarakat disebut juga sebagai dakwah pendampingan untuk perubahan sosial
(transformasi sosial), yaitu mendampingi Mad’u untuk bersama-sama menemukan
persoalan hidup, potensi, refleksi, dan solusi program sehingga kehidupan Mad’u
mengalami kemajuan dan perubahan nasib menuju kesejahteraan hidup.
Menurut Jalaluddin Rahmad (1999: 45)
pemberdayaan dilakukan melalui rencana, desain yang tersusun rapi, dan
ditetapkan tujuan dan strateginya. Amrullah (2008: 32) mengatakan bahwa
pemberdayaan masyarakat Islam adalah sistem tindakan nyata bersama masyarakat
yang menawarkan alternatif model pemecahan masalah dala bidang sosial, ekonomi
dan lingkungan dalam perspektif Islam. Dijelaskan lebih lanjut oleh Amrullah
Ahmad (2008) bahwa pemberdayaan masyarakat Islam tidak hanya mengandalkan upaya
verbal untuk memberikan materi-materi agama kepada masyarakat, yang
memposisikan Da’i sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi
menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat
dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat Islam
tidak hanya untuk memperkukuh aspek religiusitas masyarakat, melainkan juga
memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Dengan
pemberdayaan masyarakat Islam, da’i diharapkan memiliki fungsi gaanda, yakni
melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan
masyarakat.
Ada beberapa istilah yang pengertian dasarnya
sama dengan pemberdayaan masyarakat Islam yaitu : dakwah pendampingan, dakwah bil-hal,
action da’wah, riset dakwah partisipatif (RDP), dakwah pemberdayaan
masyarakat, pengembangan masyarakat, dan Partisipatory Action Research.[7]
2. Tahapan Pemberdayaan
Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam
pemberdyaan yaitu (1) aksi dilakukan bekerjasama dengan institusi atau lembaga
contoh lembaga keagamaan, lembaga sosial pendidikan dll, (2) ada wujud
keberpihakan atau empati sosial pada mustad’afin. (3) para juru dakwah
melaukan pendampingan/advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu
program dakwah (Khamami Zada, 2006: 36).
Pemberdayaan masyarakat disebut juga dengan
pendampingan masyarakat menurut Isbandi Rukminto Adi (2002: 182-196)
tahap-tahap kegiatan pendampingan masyarakat (mad’u) adalah sebagai berikut :
1) Tahapan persiapan (engagement), diantaranya yaitu penyiapan petugas
dan penyiapan lapangan.
2) Tahap pengkaji (assessment). Proses assessment dapat
dilakukan secara individual melalui tokoh—tokoh masyarakat dan melalui
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
3) Tahap perencanaan alternatif program atau kegiatan (designing). Pada
tahap ini petugas sebagai agen perubah secara partisipatif mencoba melibatkan
warga untuk berpikir tentang masalah yang mereka hadapi dan cara mengatasinya.
4) Tahap pemformulasian rencana. Tahap ini petugas membantu masing-masing
kelompok masyarakat untuk memformulasikan gagasan mereka dalam bentuk tertulis.
5) Tahap pelaksanaan program atau kegiatan (implementasi). Merupakan salah
satu tahap paling penting, karena sesuatu yang direncanakan dengan baik akan
dapat melenceng dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerjasama antara
petugas dan warga masyarakat.
6) Tahap evaluasi. Evaluasi sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas
terhadap program pemberdayaan masyarakat yang sedang berjalan sebaiknya
mellibatkan warga.
7) Tahap terminasi. Tahap ini merupakan tahap pemutusan hubungan secara formal
dengan komunitas sasaran.
D. Strategi Untuk Menanggulangi Pengangguran
Menurut definisinya, pemberdayaan diartikan
sebagai upaya untuk memberikan daya atau penguatan kepada masyarakat (Mas’oed,
1990). Keberadaan masyarakat oleh Sumodiningrat (1997) diartikan sebagai
kemampuan individu yng bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan
masyarakat yang bersangkutan.[8]
Tujuan awal dari pemberdayaan masyarakat
adalah menjadikan rakyat berdaya, mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
hingga tingkat sejahtera. Kesejahteraan dapat diwujudkan dengan cepat bila
setiap orang mampu menjadi entrepeneur atau memliki usaha sendiri, baik
kecil maupun besar. Karakter manusia yang dibangun dalam program pemberdayaan
masyarakat adalah masyarakat berdikari. Mereka yang mamou dan mandiri secara
ekonomi.
Di Indonesia, masyarakat yang tidak bekerja
atau sering disebut “pengangguran” dapat diminimalkan dengan munculnya ide-ide
baru atau perubahan yaitu entrepeneur. Entrepeneur adalah seseorang yang
selalu membawa perubahan, inovasi, ide-ide baru dan aturan baru. Entrepeneur
pada intinya merupakan seseorang yang kreatif, memiliki inisiatif untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan yang penuh rintangan dan tantangan.[9]
Jiwa entrepeneur harus muncul dari diri
sendiri. Pemerintah memfasilitasi dan menciptakan jiwa entrepeneur melalui
pemberdayaan masyarakat dengan penyadaran bahwa setiap orang adalah pengusaha
mikro kecil menengah (UMKM) yang kreatif, penuh inisiatif dan mandiri.
Pemerintah dapat menumbuhkan dan menciptakan jiwa entrepeneur itu dari
program pemberdayaan masyarakat.
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat setiap
individu dapat dianggap sebagai UMKM karena kepemilikan UMKM biasanya
perseorangan. UMKM diberdayakan dan didorong sebagai entrepeneur yang
tidak memerlukan banyak bantuan dari pemerintah agar dapat maju dan berkembang.
Bantuan tersebut tidak hanya berupa modal, karena sebagian besar pihak
menganggap kalau bantuan itu harus berupa modal. Padahal ada banyak lagi
bantuan yang diperlukan UMKM untuk berkembang pesat selain modal.[10]
Setidaknya dari persoalan-persoalan yang biasa
dihadapi UMKM, seperti kurang modal, kurang promosi, kurang akses pasar dan
lain-lain ada beberapa hal yang perlu dilakukan UMKM agar mampu bertahan dan
berkembang lebih cepat. Berikut adalah langkah praktis yang harus dilakukan
untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan UMKM :
1. Pemerintah melalui tenaga pendampingan UMKM berusaha mempermudah akses UMKM
terhadap permodalan. Bantuan permodalan ini biasanya diberikan lembaga keuangan
terhadap UMKM yang sudah memenuhi persyaratan. Jadi, tugas mutlak seorang
pendamping UMKM untuk menjadi UMKM tersebut layak dalam mengakses bantuan
modal.
2. Pemerintah memperluas jaringan pemasaran produk-produk UMKM. Revitalisasi
desa, revitalisasi pasar, dan jaringan pertukaran yang telah dilakukan
pemerintah dengan program berbasis pemberdayaan akan membntu meningkatkan
jaringan pemasaran lokal menuju regional bahkan global di tingkat
internasional.
3. Pemerintah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kualitas manusia akan
dapat diperbaiki dengan adanya revitalisasi manusia. Manusia yang harus
disadarkan akan hakikat kehidupannya, hakikat kehidupan berbangsa dan
bernegara, mengikuti kaitan prinsip mekanisme alam, mekanisme pasar,
mengutamakan Kerja-Untung-Menabung, memperoleh kehidupan yang sejahtera dengan
cara yang benar.
4. Pemerintah menyediakan sarana dan prasarana usaha bagi UMKM yang memadai.
Revitalisasi kota diarahkan pada perbaikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan
kota tersebut untuk mengembangkan usahanya. Dengan demikian, para pelaku UMKM
memperoleh kemudahan akses untuk memproduksi produknya dan mudah pula untuk
memasarkannya.
5. Terciptanya iklim usaha untuk UMKM yang kondusif. Sungguh diperlukan hati
nurani dan kebijaksanaan untuk mengurusi rakyat kecil. UMKM sebagai penyangga
perekonomian Indonesia dikondisikan dan dijaga agar tetap kondusif.
6. Teknologi yang tepat guna. Berbagai kemajuan teknologi dapat dimanftkaan
oleh pelaku UMKM. Para pendamping UMKM mengarahkan dan mampu mendorong pelaku
UMKM untuk menggunakan teknologi tepat guna demi kemajuan usahanya. Teknologi
internet misalnya, harus dimanfaatkan untuk memperluas jaringan usaha.
UMKM yang ada di Indonesia, sebenarnya adalah
penyangga perekonomian bangsa paling dasar.
Dalam rentang perjalanan waktu UMKM telah menyelamatkan badai Indonesia
dari krisis ekonomi. Sayangnya, keberadaannya sering dianggap sebelah mata oleh
pemerintah. UMKM seperti anak tiri pemerintah, yang hanya sesekali dimanja bila
diperlukan, tetapi lebih sering dibirkan dan tidak diurus dengan semestinya.
Jadi sangat tepatlah bahwa UMKM diatur sebagai
cara menumbuhkan semangat entrepeneur. UMKM merupakan cara mudah untuk
mengajarkan individu menjadi pengusaha, dalam hal ini terutama pengangguran.
Dengan demikian, akan semakin banyak penganggurn yang merubah nasibnya menjadi
individu yang bisa menghasilkan karya sendiri dan tidak tergantung pada pihak
lain. Dengan kemandirian tersebut, mereka dapat mengatur dan mengendalikan
usahanya sesuai dengan keperluannya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Etnometodologi merupakan suatu studi empiris tentang bagaimana
orang menanggapi pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Etnometodologi
mempelajari realitas sosial atas interaksi yang berlangsung sehari hari.
Pengangguran adalah tenaga kerja yang tidak
terserap oleh pasar tenaga kerja. Pengangguran ini selain menimbulkan masalah
ekonomi, juga berdapak pada masalah-masalah lainnya, seperti masalah sosial,
keamanan dan politik.
Pengangguran di Indonesia perlu diberdayakan
secara bertahap, antara lain (1) aksi dilakukan bekerjasama dengan institusi
atau lembaga (2) ada wujud keberpihakan atau empati sosial. (3) para juru
dakwah melaukan pendampingan/advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap
suatu program dakwah.
Masyarakat yang tidak bekerja atau sering
disebut “pengangguran” dapat diminimalkan dengan munculnya ide-ide baru atau
perubahan yaitu entrepeneur salah satunya yaitu dengan menjalankan UMKM.
Dan berdasarkan perintah al-Quran, Islam mengajarkan pada kita untuk peduli pada anak yatim, fakir,
miskin, orang-orang terlantar lainnya agar orang-orang terlantar tersebut
selalu disantuni.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat Syarif, 2000, Penanganan Masalah
Pengangguran Melalui Latihan Kerja, Jakarta : Puslitbang Ekonomi dan
Pembangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Mardikanto Totok, 2015, Pemberdayaan Masyarakat, Bandung:
Alfabeta
Prasetyantoko A, 2008, Bencana Finansial: Stabilitas
sebagai Barang Publik, Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Saerozi, Pendampingan Pemberdayaan Koperasi “Wana
Mukti” Rintisan Lembaga Masyarakat Desa Hutan Kab.Kendal
Sumodiningrat Gunawan, 2016, Membangun Indonesia dari
Desa, Yogyakarta : Media Pressindo