Saturday, 29 July 2017

Memberdayakan Pengangguran Di Usia Produktif

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia telah dicanangkan sejak masa kemerdekaan hingga sekarang. Pembangunan terus dilaksanakan demi perbaikan dan kemajuan bangsa Indonesia. Pembangunan merupakan proses meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Kesejahteraan ditandai dengan meningkatnya produksi, pendapatan dan tabungan masyarakat atau dikenal dengan employment – income – growth yang bersumber dari tabungan masyarakat yang terus meningkat.
Realitanya, pembangunan yang dilaksanakan selam ini hasilnya belumlah sesuai dengan harapan kita bersama. Di berbagai wilayah, masih terlihat adanya kesenjangan, kemiskinan, dan pengangguran. Di banyak tempat terlihat masih banyak kesenjangan infrastruktur daerah terpencil dengan kota-kota besar. Di berbagai daerah di tanah air, dapat disaksikan generasi muda usia produktif yang tidak bekerja. Itulah sebagian potret buram pemerataan pembangunan di dalam negeri.
Proses menuju ekonomi berdikari merupakan langkah nyata mengembalikan arah tujuan bangsa Indonesia. Hal ini khususnya sebagai bentuk upaya mengurangi masyarakat marginal. Oleh sebab itu, pendekatan pembangunan yang ditekankan adalah pembangunan bottom up. Pendekatan ini menuntut adanya partisipasi masyarakat agar mereka memiliki keahlian serta mandiri.
B.  Rumusan Masalah
a.    Apakah pengertian dari etnometodologi ?
b.    Apakah definisi dari pengangguran ?
c.    Bagaimanakah analisis pengangguran berdasarkan Islam ?
d.   Bagaimanakah cara menanggulangi pengangguran berdasarkan teori etnomeodologi ?





BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Etnometodologi
Etnometodologi merupakan suatu studi empiris tentang bagaimana orang menanggapi pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Etnometodologi mempelajari realitas sosial atas interaksi yang berlangsung sehari hari. Garfinkel mengemukakan tiga hal kunci dasar etnometodologi yaitu: (1) ada perbedaan antara ungkapan yang objektif dan yang diidentikasikan, (2) refleksitas berbagai tindakan praktis, (3) kemampuan menganalisis tindakan trsebut dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Bogdan dan Biklen, pengertian etnometodologi tidaklah selalu mengacu pada suatu model atau metode pengumpulan data pada saat peneliti melakukan penelitian di lapangan, akan tetapi lbih merupakan arah kemana problematika penelitian itu tertuju. Dengan demikian etnometodologi mengacu pada suatu studi mengenai bagaimana seorang individu dalam suatu komunitas bertindak dan bertingkah laku dan berusaha memahami kehidupan sehari-hari aktor yang diteliti.
Hal ini sejalan dengan ide Garfinkel-pencetus etnometodologi- yang mengatakan bahwa: “I use term ‘ethnomethodology’ to refer to the investigation of the rational properties of indexical expressions and other practical actions as contingent on going accomplishmentof organized artful practices of everyday live”. Dengan demikian etnometodologi mengisyaratkan upaya mendeskripsikan dan memahami masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya cara berpikir, pola interaksi, perasaan mereka dan cara bicara mereka.
Teori etnometodologi pernah dilakukan oleh Cicourel  mengenai kebijakan yang berkenan dengan perilaku menyimpang ‘kejahatan yang dlakukan anak-anak’. Studi ini menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan anak-anak berhubungan erat dengan latar belakang keluarga pelaku kejahatan tersebut. Mereka yang melakukan kejahatan biasanya berasal dari broken home. Anak-anak dari keluarga yang selalu ribut mempunyai kcenderungan yang lebih besar.
Metode etnometodologi juga pernah digunakan oleh Atkinson mengenai bunuh diri. Dengan mengamati kejadian sehari hari yang tercatat di kantor polisi. Catatan-catatan resmi yang terakumulasi dalam angka-angka statistik resmi.
Kritik terhadap etnometodologi yang gencar diperdebatkan adalah: bahwa penggunaan catatan-catatan resmi dari organisasi tertentu memiliki sifat membangun sekaligus menghancurkan. Langkah itu sebagai langkah yang menghancurkan, karena telah menentang perlakuan sosiologi tradisional. Kesimpulan yang dihasilkan bersifat menghancurkan karena statistik resmi bisa jadi sangat bersifat tempelan belaka dan tidak ada maknanya sama sekali.[1]

B.  Definisi Pengangguran
Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia. Dengan menggunakkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah penduduk Indonesia yang diproyeksikan pada tahun 2015 mencapai 260 juta jiwa, tentu merupakan jumlah yang sangat besar. Sebagai negara berpenduduk besar, masalah pembangunan ekonomi sering terbenturkan pada besarnya angka pengangguran pada usia produktif. [2]
Gambar 1.1, ilustrasi pengangguran di berbagai daerah.
Pengangguran adalah tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar tenaga kerja.[3] Menurut Payman J. Simanjuntak, pengangguran merupakan orang yang tidak bekerja berusia angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali atau berusaha memperoleh pekerjaan. Pengangguran di Indonesia cukup banyak jumlahnya. Pengangguran ini selain menimbulkan masalah ekonomi, juga berdapak pada masalah-masalah lainnya, seperti masalah sosial, keamanan dan politik.
Tantangan terpenting dalam pembangunan adalah membuka lapangan kerja seluas-luasnya sehingga bisa menampung banyak tenaga kerja dan memperkecil jumlah pengangguran. Bagi indonesia, definisi pengangguran sering diidentifikasi dengan mereka yang tidak bekerja di sektor formal, seperti menjadi pegawai negeri, menjadi pegawai atau karyawan perusahaan swasta. Orang-orang yang bekerja pada sektor informal sering dianggap sebagai orang yang tidak bekerja dan disebut “pengangguran”.
Padahal di Indonesia, jumlah orang yang bekerja pada sektor informal lebih banyak daripada mereka yang bekerja pada sektor formal. Oleh karena itu, konsep kerja-untung-menabung menjadi tepat pada kondisi ekonomi di Indonesia.[4] Mereka yang bekerja apapun bidang pekerjaan dan caranya bekerja, selam ia bisa mendapatkan hasil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mampu menabung, berarti ia bekerja dan tidak bisa disebut pengangguran.
Pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, pembangunan ekonomi dilaksanakan secara menyeluruh. Pembangunan tersebut berhasil menambahkan beragam pekerjaan baru di pasar kerja Indonesia, yang dengan demikian mampu mengurangi angka pengangguran nasional. Sektor sektor yang terutama mengalami peningkatan tenaga kerja adalah sektor industri dan jasa, sementara sektor pertanian malah berkurang.[5] Terjadinya krisis di Asia pada sekitar tahun 1990-an secara tidak langsung telah ikut merusak pembangunan ekonomi di Indonesia. Saat itu pengangguranpun meningkat tajam. Ada 20% pengangguran di Indonesia dan angka tenaga kerja yang harus bekerja di bawah level kemampuannya juga meningkat.[6]
Sebagian besar tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan di daerah perkotaan pindah ke pedesaan. Mereka bergabung bekerja pada sektor-sektor informal terutama pada bidang pertanian. Sektor informal inilah, baik yang ada di kota maupun di desa, sampai sekarang tetap berperan besar dalam perekonomian Indoensia. BPS memperkirakan sekitar 55 smpai 65 persen pekerjaan di Indonesia adalah pekerjaan informal. Saat ini sekitar 80 persen dari pekerjaan informal itu terkonsentrasi di wilayah pedesaan, terutama di sektor konstruksi dan pertanian.
Pemerintah perlu melakukan stimulasi penciptaan lapangan kerja baru untuk menyerap angkatan kerja yang terus bertambah. Pengangguran muda biasanya terbentuk dari mereka yang baru saja lulus kuliah atau dapat dikatakan usia produktif dibawah 30 tahun. Artinya, Indonesia merupakan negara dengan jumlah SDM yang sangat melimpah yang mampu berkembang lebih baik dengan penanganan yang baik dan tepat.
Jumlah pengangguran di Indoensia tidak merata. Sebagian besar justru wanita. Umumnya para wanita bekerja di sektor informal, sehingga sering dianggap sebagai “pengangguran”. Sebagian besar wanita Indonesia juga sudah mengenyam pendidikan yang lebih baik, tetapi masalah gender sering menjadi persoalan sendiri.
Banyak wanita memilih “tidak bekerja” di bidang formal karena bidang formal lebih sering menuntut keberadaan pekerjaan pria. Selain itu bidang formal menuntut wanita harus meninggalkan rumah dan anak-anak, karena mereka harus pergi ke kantor atau tempat mereka bekerja. Masalah tersebut pula sering menjadi permasalahan tersendiri.
Wanita memilih pekerjaan-pekerjaan informal karena mereka bisa tetap bekerja dan mendapatkan penghasilan, sambil tetap bisa mengurusi rumah dan anak-anaknya. Tabel berikut ini dapat menggambarkan jumlah pengangguran wanita di Indonesia.

Tabel Pengangguran Wanita di Indonesia

2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Pengangguran
(% dari total tenaga kerja)
10,3
9,1
8,4
7,9
7,1
6,6
6,1
6,2
5,9
Pengangguran Pria
(% dari total tenaga kerja pria)
8,5
8,1
7,6
7,5
6,1
-
-
-
-
Pengangguran Wanita
(% dari total tenaga kerja wanita)
13,4
10,8
9,7
8,5
8,7
-
-
-
-

Tingkat pengangguran di Indonesia ini perlu ditekan serendah mungkin bahkan tidak ada, di setiap kota dapat dilaksanakan program pemberdayaan masyarakat berbasis One Village One Product (OVOP) sesuai dengan potensi masing-masing wilayahnya.

C.  Analisis Pengangguran Berdasarkan Islam
1.    Pengertian Pemberdayaan
Secara semantik istilah pemberdayaan diartikan sebagai suatu upaya sistematis untuk menjadikan berdayanya suatu obyek kajian menuju pada perubahan sosial. Menurut Amarullah Ahmad (2008: 32) pemberdayaan masyarakat disebut juga sebagai dakwah pendampingan untuk perubahan sosial (transformasi sosial), yaitu mendampingi Mad’u untuk bersama-sama menemukan persoalan hidup, potensi, refleksi, dan solusi program sehingga kehidupan Mad’u mengalami kemajuan dan perubahan nasib menuju kesejahteraan hidup.
Menurut Jalaluddin Rahmad (1999: 45) pemberdayaan dilakukan melalui rencana, desain yang tersusun rapi, dan ditetapkan tujuan dan strateginya. Amrullah (2008: 32) mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat Islam adalah sistem tindakan nyata bersama masyarakat yang menawarkan alternatif model pemecahan masalah dala bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam. Dijelaskan lebih lanjut oleh Amrullah Ahmad (2008) bahwa pemberdayaan masyarakat Islam tidak hanya mengandalkan upaya verbal untuk memberikan materi-materi agama kepada masyarakat, yang memposisikan Da’i sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat Islam tidak hanya untuk memperkukuh aspek religiusitas masyarakat, melainkan juga memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Dengan pemberdayaan masyarakat Islam, da’i diharapkan memiliki fungsi gaanda, yakni melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan masyarakat.
Ada beberapa istilah yang pengertian dasarnya sama dengan pemberdayaan masyarakat Islam yaitu : dakwah pendampingan, dakwah bil-hal, action da’wah, riset dakwah partisipatif (RDP), dakwah pemberdayaan masyarakat, pengembangan masyarakat, dan Partisipatory Action Research.[7]
2.      Tahapan Pemberdayaan
Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam pemberdyaan yaitu (1) aksi dilakukan bekerjasama dengan institusi atau lembaga contoh lembaga keagamaan, lembaga sosial pendidikan dll, (2) ada wujud keberpihakan atau empati sosial pada mustad’afin. (3) para juru dakwah melaukan pendampingan/advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu program dakwah (Khamami Zada, 2006: 36).
Pemberdayaan masyarakat disebut juga dengan pendampingan masyarakat menurut Isbandi Rukminto Adi (2002: 182-196) tahap-tahap kegiatan pendampingan masyarakat (mad’u) adalah sebagai berikut :
1)   Tahapan persiapan (engagement), diantaranya yaitu penyiapan petugas dan penyiapan lapangan.
2)   Tahap pengkaji (assessment). Proses assessment dapat dilakukan secara individual melalui tokoh—tokoh masyarakat dan melalui kelompok-kelompok dalam masyarakat.
3)   Tahap perencanaan alternatif program atau kegiatan (designing). Pada tahap ini petugas sebagai agen perubah secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berpikir tentang masalah yang mereka hadapi dan cara mengatasinya.
4)   Tahap pemformulasian rencana. Tahap ini petugas membantu masing-masing kelompok masyarakat untuk memformulasikan gagasan mereka dalam bentuk tertulis.
5)   Tahap pelaksanaan program atau kegiatan (implementasi). Merupakan salah satu tahap paling penting, karena sesuatu yang direncanakan dengan baik akan dapat melenceng dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerjasama antara petugas dan warga masyarakat.
6)   Tahap evaluasi. Evaluasi sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap program pemberdayaan masyarakat yang sedang berjalan sebaiknya mellibatkan warga.
7)   Tahap terminasi. Tahap ini merupakan tahap pemutusan hubungan secara formal dengan komunitas sasaran.

D.  Strategi Untuk Menanggulangi Pengangguran
Menurut definisinya, pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya atau penguatan kepada masyarakat (Mas’oed, 1990). Keberadaan masyarakat oleh Sumodiningrat (1997) diartikan sebagai kemampuan individu yng bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.[8]
Tujuan awal dari pemberdayaan masyarakat adalah menjadikan rakyat berdaya, mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri hingga tingkat sejahtera. Kesejahteraan dapat diwujudkan dengan cepat bila setiap orang mampu menjadi entrepeneur atau memliki usaha sendiri, baik kecil maupun besar. Karakter manusia yang dibangun dalam program pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat berdikari. Mereka yang mamou dan mandiri secara ekonomi.
Di Indonesia, masyarakat yang tidak bekerja atau sering disebut “pengangguran” dapat diminimalkan dengan munculnya ide-ide baru atau perubahan yaitu entrepeneur. Entrepeneur adalah seseorang yang selalu membawa perubahan, inovasi, ide-ide baru dan aturan baru. Entrepeneur pada intinya merupakan seseorang yang kreatif, memiliki inisiatif untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan yang penuh rintangan dan tantangan.[9]
Jiwa entrepeneur harus muncul dari diri sendiri. Pemerintah memfasilitasi dan menciptakan jiwa entrepeneur melalui pemberdayaan masyarakat dengan penyadaran bahwa setiap orang adalah pengusaha mikro kecil menengah (UMKM) yang kreatif, penuh inisiatif dan mandiri. Pemerintah dapat menumbuhkan dan menciptakan jiwa entrepeneur itu dari program pemberdayaan masyarakat.
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat setiap individu dapat dianggap sebagai UMKM karena kepemilikan UMKM biasanya perseorangan. UMKM diberdayakan dan didorong sebagai entrepeneur yang tidak memerlukan banyak bantuan dari pemerintah agar dapat maju dan berkembang. Bantuan tersebut tidak hanya berupa modal, karena sebagian besar pihak menganggap kalau bantuan itu harus berupa modal. Padahal ada banyak lagi bantuan yang diperlukan UMKM untuk berkembang pesat selain modal.[10]
Setidaknya dari persoalan-persoalan yang biasa dihadapi UMKM, seperti kurang modal, kurang promosi, kurang akses pasar dan lain-lain ada beberapa hal yang perlu dilakukan UMKM agar mampu bertahan dan berkembang lebih cepat. Berikut adalah langkah praktis yang harus dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan UMKM :
1.    Pemerintah melalui tenaga pendampingan UMKM berusaha mempermudah akses UMKM terhadap permodalan. Bantuan permodalan ini biasanya diberikan lembaga keuangan terhadap UMKM yang sudah memenuhi persyaratan. Jadi, tugas mutlak seorang pendamping UMKM untuk menjadi UMKM tersebut layak dalam mengakses bantuan modal.
2.    Pemerintah memperluas jaringan pemasaran produk-produk UMKM. Revitalisasi desa, revitalisasi pasar, dan jaringan pertukaran yang telah dilakukan pemerintah dengan program berbasis pemberdayaan akan membntu meningkatkan jaringan pemasaran lokal menuju regional bahkan global di tingkat internasional.
3.    Pemerintah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kualitas manusia akan dapat diperbaiki dengan adanya revitalisasi manusia. Manusia yang harus disadarkan akan hakikat kehidupannya, hakikat kehidupan berbangsa dan bernegara, mengikuti kaitan prinsip mekanisme alam, mekanisme pasar, mengutamakan Kerja-Untung-Menabung, memperoleh kehidupan yang sejahtera dengan cara yang benar.
4.    Pemerintah menyediakan sarana dan prasarana usaha bagi UMKM yang memadai. Revitalisasi kota diarahkan pada perbaikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan kota tersebut untuk mengembangkan usahanya. Dengan demikian, para pelaku UMKM memperoleh kemudahan akses untuk memproduksi produknya dan mudah pula untuk memasarkannya.
5.    Terciptanya iklim usaha untuk UMKM yang kondusif. Sungguh diperlukan hati nurani dan kebijaksanaan untuk mengurusi rakyat kecil. UMKM sebagai penyangga perekonomian Indonesia dikondisikan dan dijaga agar tetap kondusif.
6.    Teknologi yang tepat guna. Berbagai kemajuan teknologi dapat dimanftkaan oleh pelaku UMKM. Para pendamping UMKM mengarahkan dan mampu mendorong pelaku UMKM untuk menggunakan teknologi tepat guna demi kemajuan usahanya. Teknologi internet misalnya, harus dimanfaatkan untuk memperluas jaringan usaha.
UMKM yang ada di Indonesia, sebenarnya adalah penyangga perekonomian bangsa paling dasar.  Dalam rentang perjalanan waktu UMKM telah menyelamatkan badai Indonesia dari krisis ekonomi. Sayangnya, keberadaannya sering dianggap sebelah mata oleh pemerintah. UMKM seperti anak tiri pemerintah, yang hanya sesekali dimanja bila diperlukan, tetapi lebih sering dibirkan dan tidak diurus dengan semestinya.
Jadi sangat tepatlah bahwa UMKM diatur sebagai cara menumbuhkan semangat entrepeneur. UMKM merupakan cara mudah untuk mengajarkan individu menjadi pengusaha, dalam hal ini terutama pengangguran. Dengan demikian, akan semakin banyak penganggurn yang merubah nasibnya menjadi individu yang bisa menghasilkan karya sendiri dan tidak tergantung pada pihak lain. Dengan kemandirian tersebut, mereka dapat mengatur dan mengendalikan usahanya sesuai dengan keperluannya.









BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Etnometodologi merupakan suatu studi empiris tentang bagaimana orang menanggapi pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Etnometodologi mempelajari realitas sosial atas interaksi yang berlangsung sehari hari.
Pengangguran adalah tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar tenaga kerja. Pengangguran ini selain menimbulkan masalah ekonomi, juga berdapak pada masalah-masalah lainnya, seperti masalah sosial, keamanan dan politik.
Pengangguran di Indonesia perlu diberdayakan secara bertahap, antara lain (1) aksi dilakukan bekerjasama dengan institusi atau lembaga (2) ada wujud keberpihakan atau empati sosial. (3) para juru dakwah melaukan pendampingan/advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu program dakwah.
Masyarakat yang tidak bekerja atau sering disebut “pengangguran” dapat diminimalkan dengan munculnya ide-ide baru atau perubahan yaitu entrepeneur salah satunya yaitu dengan menjalankan UMKM.
Dan berdasarkan perintah al-Quran, Islam mengajarkan pada kita untuk peduli pada anak yatim, fakir, miskin, orang-orang terlantar lainnya agar orang-orang terlantar tersebut selalu disantuni.














DAFTAR PUSTAKA
Hidayat Syarif, 2000, Penanganan Masalah Pengangguran Melalui Latihan Kerja, Jakarta : Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Mardikanto Totok, 2015, Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Alfabeta
Prasetyantoko A, 2008, Bencana Finansial: Stabilitas sebagai Barang Publik, Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Saerozi, Pendampingan Pemberdayaan Koperasi “Wana Mukti” Rintisan Lembaga Masyarakat Desa Hutan Kab.Kendal
Sumodiningrat Gunawan, 2016, Membangun Indonesia dari Desa, Yogyakarta : Media Pressindo